Sebagai bagian dari penutup tahun 2009 yang indah ini. apres! ITB membuat daftar album terbaik indonesia tahun 2009, kebetulan saya mendapat bagian untuk mereview album dari Pee Wee Gaskins dan Tika. So, inilah review untuk album Pee Wee Gaskins. (note: link ke list 10 album terbaiknya akan saya cantumkan setelah artikelnya beres, anggap saja ini pemanasan, hehe…)
==========================================
Review Album:
Pee Wee Gaskins – Sophomore
![Pee Wee Gaskins - The Sophomore](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_tvMqszLRyGuCt6z2PWVvn6AiWtKlnLMtqgYZXxlyWmSLVPo9FMCYwsBd7LU_QFN5uqF-rZKbOzmxCa69FaEFCzGLWlZQLJz9gDr0RsdyzWdgpk3kOEnasm-hMaqA9PlaI6iOch9BbPaU68buifVBdx=s0-d)
Pada saat saya menulis review ini, seharusnya komparasi antara Pee Wee Gaskins (PWG) dengan band-band pop-punk seperti The Get Up Kids, New Found Glory, atau bahkan Rocket Rockers seharusnya sudah tidak lagi dikemukakan. Sebagai sebuah band tahun ini mereka sudah mencapai level selanjutnya. Sejujurnya saya agak-agak terlewat mengapa mereka bisa sebesar sekarang. Saya tidak tahu apakah fenomena munculnya sekumpulan anak-anak ABG labil yang berdandan dengan topi merah (tidak dibalik) bertuliskan “Dork”, berkaos cerah, bercelana jins dan bersepatu cerah juga yang menamakan diri mereka (atau dinamakan?) Party Dorks itu murni disebabkan oleh kekuatan musik dari PWG atau apakah ini keberhasilan promosi dari PWG? Belum lagi ketika mengetahui bahwa sudah ada yang namanya Anti Pee Wee Gaskins, aih, itu semua tanda kalau band ini memang sudah besar.
Maka dari itu, meskipun saya amat sangat yakin kalau album ini bukan dibuat untuk pria seumuran saya, saya memaksa diri saya untuk membeli albumnya dan kemudian mereviewnya. Saya akan terjun langsung ke jualan utama mereka: musiknya. Saya tidak akan mempertimbangkan bagaimana perilaku personil band ini di atas dan di luar panggung, saya tidak akan menyinggung performa live mereka, saya hanya akan menilai album Sophomore mereka ini. Anggap saya sedang mengulas nasi goreng buatan Angie, si wanita tuna susila. Saya tahu kelakuan si Angie ini minus, tapi kalau sedang menilai nasi gorengnya, mustinya ya hanya nasi gorengnya yang jadi bahan penilaian saya.
Oke, setelah saya dengarkan keseluruhan album, hal yang paling menarik saya adalah kekuatan dari sound mereka. Sangat terasa sebagai sebuah band synth-pop-punk, mereka tunduk penuh pada kekuatan synth mereka (Alesis Micron bukan?) dan sound instrumen lainnya pun dikembangkan pelan-pelan mengikuti sound patch si synth ini. Hasilnya ketika semua instrumen maju bersamaan, lagu pun terasa semakin nendang. Seringkali sound synth ini terasa tipis, namun keberadaan gitar dan bass yang tebal cukup menutupi sehingga mixing-an keseluruhan tidak terasa tipis dan secara bersamaan cukup untuk men-drive lagu. Vokal juga diberi porsi cukup besar, diletakkan di depan dengan sangat jelas sehingga pesan yang disampaikan si vokalis juga bisa tertangkap jelas. Jadi kalau misi setiap lagu PWG adalah menyampaikan pesan tertentu lewat lirik dan memberi bunyi synth sebagai riff utama yang akan nempel (sebagaimana intro Final Countdown-nya Europe nempel) maka tak diragukan lagi PWG sudah berhasil di keseluruhan album.
Yang paling susah dari membuat album pop-punk menurut saya adalah bagaimana menyeimbangkan diri antara mengikuti pakem pop-punk (yang menurut saya sudah punya standar sendiri) dan bereksperimen untuk menemukan ciri khas tersendiri. Dalam kasus ini, PWG banyak bermain mengikuti pakem yang sudah ada. Kalau biasa mendengarkan band-band pop-punk yang sempat booming di awal dekade ini, mustinya tidak asing lagi mendengarkan apa yang ditampilkan di sini. Tapi justru dengan bermain aman seperti ini, PWG mampu mengkonsentrasikan diri untuk membangun melodi-melodi yang lagi-lagi stuck in the listener’s head. Satu hal yang menjanjikan ialah ketika hampir di setiap lagu, mereka punya part yang saya berikan nama “part iseng ala PWG”. Di part ini mereka sedikit bermain, baik itu dengan ketukan, nada, atau bahkan sound synth, sebagai bukti kalau mereka memang punya skill tersendiri sebagai musisi. Kebanyakan berhasil, meskipun ada juga yang gagal. Saya cuma berharap kalau di album berikutnya keisengen ini dikembangkan, mungkin saja bisa menjadi ciri khas tersendiri.
Secara lirik juga mereka menurut saya berhasil. Liriknya anak muda sekali. Andai saya masih berseragam putih biru atau putih abu-abu saya pasti akan merasa sangat terwakili oleh mereka. Masalah cinta atau ke menemukan jati diri atau bahkan ke pertanyaan “mau jadi apa kalau sudah besar?” semua mereka kemukakan dengan gamblang di sini. Sedikit metafora tidak membuat lirik mereka masuk ke level jenius, tapi kalau sudah cukup mewakili pendengar, ada yang perlu dipermasalahkan?
Hal-hal positif yang saya kemukakan di atas bukan berarti album tak punya kekurangan. Sejujurnya saya cukup terganggu dengan kualitas vokalnya. Seringkali saya merasa nada yang seharusnya tidak tercapai, karena kurang tinggi, kurang sedikit lagi. Entah disengaja atau tidak, tapi ini cukup mengganggu, karena dengan musik yang melodinya sudah sebegitu familiar, mustinya vokal bisa bermain-main sedikit untuk memberi kesan kuat di setiap lagu. Sayangnya justru vokalnya kurang tinggi.
Komplain saya yang kedua adalah pola lagu yang itu-itu terus. hampir setiap lagu dimulai dengan cara yang sama (gitar bermain akord dan lead synth berjalan), mengalir dengan cara yang sama (verse-reff-verse-reff-part aneh-reff) dan diakhiri dengan cara yang sama (suara synth dibunyikan menggantung atau bernyanyi bersama). Sayang sekali karena dengan pola yang hampir selalu sama, ditambah dengan melodi yang nyaris itu-itu saja, saya jadi agak kesulitan membedakan antar lagu. Untungnya liriknya terdengar jelas, jadi masih ada pegangan untuk tidak nyasar.
Komplain ketiga adalah lagu-lagu akustiknya. 2 Lagu ini tidak cukup matang dan ya, bisa diskip tanpa mengganggu alur keseluruhan album.
Secara keseluruhan saya bisa bilang album ini adalah album yang cukup bagus. Konsep musiknya sangat matang dengan sedikit petunjuk di sana-sini bagaimana kira-kira album berikutnya akan terdengar. Jadi menjawab pertanyaan di awal review ini, kalau band ini bisa terkenal saya rasa memang modal dasarnya (baca:musiknya) sudah bagus. Sebagai sebuah produk, album ini juga menurut saya cukup mewakili remaja sebagai bagian dari masyarakat dunia. Cek judul lagunya yang berbahasa inggris, cek foto mereka di album sleeve, sekilas saya merasa saya sedang berada di suburban Amerika Serikat. Salahkan penetrasi internet, salahkan televisi, tapi remaja sekarang merasa perlu untuk mengaktualisasikan diri dengan mengikuti gaya hidup remaja di negeri Obama sana. Jadi menurut saya PWG untuk remaja laki-laki adalah bagaimana Paris Hilton untuk remaja perempuan. These teenagers want to be approved as part of the teenagers in the world and clearly PWG has managed to represent them.
So yes, no grudge against them, they truly deserve all the spotlight this year. Congrats boys!